Apa yang
kurasakan semakin membesar seperti gulungan ombak yang tak pernah berhenti
datang.
Apa yang
kurasakan semakin mengalir seperti air terjun yang tak pernah singgah
beristirahat.
Tapi kau tak
pernah mengerti. Perasaanku semakin menjadi. Kesetiaanku sudah membulat. Dan
harapanku telah sempurna.
Tapi kau tak
ingin mengerti. Perasaanku mulai terluka. Kesetiaanku sudah rapuh dimakan
waktu. Dan harapanku telah gugur.
Aku memang
naif. Bermimpi besar untuk bisa bersamamu. Aku memang tak tahu diri. Berharap
hari dimana aku dan kamu akan menjadi kita. Aku memang egois. Membiarkan rasa
ini semakin membukit tanpa kupikirkan luka yang justru menganga.
Hai, Tuan.
Aku letih. Aku lelah. Bisakah aku singgah sejenak dihatimu untuk menyandarkan
lukaku?
Hai, Tuan.
Aku sakit. Aku terluka. Bisakah aku menangis dibahumu untuk membekukan sakitku?
Kau melihatku
terjatuh. Kau menatap lukaku. Kau menyadari aku tertatih untuk bangkit. Tapi
kau diam disana. Kamu belajar untuk tidak perduli padaku. Kamu belajar untuk
tidak membalas perasaanku. Kamu belajar untuk menjauhiku.
Harapanku
pupus sudah. Pupus bersama derap langkahmu yang kian menjauh. Runtuh bersama
hembusan nafasmu yang menghilang. Gugur bersama semua harapanku.
Harapanku
telah mati. Mati bersama sisa-sisa perasaan yang kau kecewakan. Hilang bersama
bekas air mata yang mengering di pipi.
Untukmu, 17.
Terimakasih telah menciptakan badai dan pelangi dalam hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar