Selamat pagi, Tuhan. Bagaimana dia
disana?
Ah ingin sekali aku bertanya banyak hal,
apakah ia rajin menegak butiran obatnya, apakah sakitnya masih kerap
mengunjunginya, apakah ia baik-baik saja?
Tapi aku hanya bungkam, Tuhan. Aku takut
kehadiranku tidak diinginkannya. Aku malu mengetahui bahwa aku sudah tidak
dibutuhkan lagi. Aku tidak ingin mengganggunya dengan ribuan perhatianku
untuknya. Mungkin, perhatianku adalah sebuah siksa kecil untuknya. Entahlah,
Tuhan. Tunjukan sebuah keajaiban kecil dimana aku bisa merasakan perasaannya. Sehingga,
aku tahu apa yang dicarinya, apa yang diinginkannya, dan apa yang membuatnya
begitu lama terenyak diluar sana.
Jangan begitu keras menghukumnya dengan
rasa sakit yang kerap timbul, Tuhan. Ini semua salahku. Aku yang pantas merasakan
hal itu bukan? Jika rasa sakit itu bisa terbagi, aku ingin meringankannya.
Ini pertama kalinya aku merasa begitu
lemah dan rapuh. Jika saja KAU tidak hadir memberiku semangat hidup dan
ketenangan, mungkin saat ini aku sudah berada dirumahMU. Dengan kuasaMU, kau
ciptakan aku dengan bentuk yang indah, kemampuan yang menakjubkan, dan sifat
baik dan buruk yang melengkapiku.
Guruku benar, Tuhan. Beliau
memperingatkanku untuk menjauhi rasa putus asa. Bukankah itu yang kerap
kupikirkan? Oh lihat betapa lemahnya aku.
Tuhan, bisakah kau bantu aku
menyingkirkan sedikit sifat burukku? Aku malu mengakuinya, tapi memang benar
aku cepat cemburu.
Apakah benar, cemburu tanda sayang? Lalu
kenapa aku ditinggalkan karena tanda sayangku sendiri.
Mungkin alasan ini juga yang membuat
langkahnya mantap untuk pergi dariku. Sedih, Tuhan. Sedih mengetahui seseorang
terluka karena sifatku.
Tuhan, bolehkah aku bercerita tentang
apa yang kulihat?
Beberapa hari yang lalu dikelas, aku
menyaksikan seorang perempuan (sebut saja amanda) merangkul bahunya. Sekejap
rasa hangat menjalar disekujur tubuhku. Jantungku berdegup cepat. Sesuatu
mendesak dadaku untuk menangis. Tidak, aku tidak ingin menangis dikelas. Aku
juga tidak ingin dia mengetahui apa yang mataku rekam beberapa detik lalu.
Aku menunduk. Mengalihkan pandanganku
keluar jendela. Aku memandang. Tapi, pikiranku kosong.
Kucamkan diriku bahwa aku bukan
siapa-siapa. Dan aku tidak pantas melukai siapapun dengan rasa cemburu ini.
Cukup panas hati dan mataku, Tuhan. Jauh
di lubuk hatiku ikut terluka. Jadi, bisakah KAU membantuku menghilangkan rasa
cemburu itu? Oh tidak, bisakah KAU bantu aku untuk membatasi rasa cemburu itu?
Aku tidak ingin kehilangan siapapun
karena cemburuku yang terlalu membara. Aku juga tidak ingin seseorang mengira
bahwa rasa sayangku hilang karena cemburu tak kunjung mengitariku lagi.
Tuhan, jadikan aku insan yang lebih baik
lagi. Untuk diriku sendiri. Dan untuk siapapun yang takut kehilanganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar