Hari semakin larut. Angin diluar sana berhembus kencang. Sesekali angkasa
bergemuruh hebat. Nampaknya, hujan kembali merindukan bumi. Merindukan tiap
tetes rintik hujan yang mampu mencium permukaan bumi. Ingin menghirup kerinduan
dari aroma bumi ketika tiap tetesnya mencium permukaan bumi.
Ah.. berbicara tentang rindu. Lagi-lagi masalah cinta.
Selamat malam, Tuhan. Hari ini waktu menunjukan pukul 23.23, beberapa
menit lagi menjelang hari baru yang kuharap lebih indah dari hari ini.
Tuhan, apakah kau masih ingat permohonan kecilku kemarin? Jadikan hari ini sebagai hari yang sempurna,
hari yang indah. Bukan bermaksud untuk menghakimiMU. Bukan maksudku untuk
mengatur pola takdir yang telah kau tuliskan dalam sebuah buku yang menjadi
rahasiamu.
Hariku tidak berjalan sesuai dengan harapanku, Tuhan. Jadi, pantaskah aku
mengklaim bahwa engkau tidak mengabulkan pinta kecilku? Maaf, tapi bukankah
manusiawi jika tatkala aku berpikir demikian. Dan kurasa, diatas sana engkau
tersenyum sempurna menatapi beberapa baris kalimat yang akan menjadi suprise
untukku, kelak.
Hari ini aku menjalani hariku sesuai dengan rencana yang ada. Rencana yang
telah aku persiapkan matang sebelum hari ini tiba. Beberapa halangan kecil
sempat membuat otakku berpikir keras agar rencanaku berjalan dengan lancar.
Awal kupijak hari ini, aku merasa bahagia. Kau tahu, Tuhan? Tidak ada
yang lebih menyenangkan dibandingkan mengetahui seseorang khawatir dan perduli
padaku. Namun, menjelang matahari mantap diatas kepala, aku kembali menelan
sebuah kekecewaan. Haruskah ada kecewa di hari ini?
Aku kembali merasa sendiri. Hatiku tertusuk-tusuk oleh kalimat yang terus
mengiang ditelingaku. Kepalaku pening dan tubuhku lemas. Aku bersyukur engkau
memberiku sahabat yang siap menderukan gas kendaraan hanya untuk memastikanku
baik-baik saja dengan situasi ini. Terimakasih untuk mereka, Tuhan.
Menjelang jubah hitam sang mentari digelar, aku kembali dihampiri rasa
kecewa. Dia. Lagi-lagi hal ini menyangkut dia. Seseorang yang masih belum bisa
disingkirkan dari hatiku. Haruskah dia menjawab sebuah pertanyaan dengan
intonasi yang tinggi ditengah-tengah rasa khawatirku, Tuhan?
Apakah aku terlalu lemah? Tidak, semua wanita juga akan merasakan sakit
yang sama. Aku khawatir karena kulihat dia berada dalam posisi yang kuanggap ‘kurang
nyaman’. Aku hanya ingin membuatnya merasa nyaman. Merasa nyaman di dekatku. Merasa
nyaman bersamaku.
Aku perduli padanya. Jangan tanya alasan keperdulianku selama ini. Tentu saja
karena perasaan yang orang sebut dengan rasa sayang.
Tuhan, aku dihadapkan pada banyak pilihan. Bisakah kau membantuku untuk
memperjelasnya? Karena hari ini aku benar-benar hampir tidak mengenalnya lagi. Fisiknya
masih sama dan disana. Tapi, hati dan perasaannya telah pergi.
Aku hanya ingin tidur, Tuhan. Aku lelah bejalan mengitari bumi mengenal
rasa pahit dan sakit. Aku letih menjadi
wanita bertopeng yang menahan rasa sakitnya dengan berpura-pura tersenyum. Aku muak mengenal seseorang yang tega
meninggalkanku disaat cintaku sedang bersemi. Biarkan hati ini beristirahat
sejenak dari semua tentang dia. Dan bangunkan aku setelah hati dan perasaannya
telah kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar