Rabu, 16 Oktober 2013

Hati yang Telah Pergi



Hari semakin larut. Angin diluar sana berhembus kencang. Sesekali angkasa bergemuruh hebat. Nampaknya, hujan kembali merindukan bumi. Merindukan tiap tetes rintik hujan yang mampu mencium permukaan bumi. Ingin menghirup kerinduan dari aroma bumi ketika tiap tetesnya mencium permukaan bumi.
Ah.. berbicara tentang rindu. Lagi-lagi masalah cinta.
Selamat malam, Tuhan. Hari ini waktu menunjukan pukul 23.23, beberapa menit lagi menjelang hari baru yang kuharap lebih indah dari hari ini.
Tuhan, apakah kau masih ingat permohonan kecilku kemarin? Jadikan hari ini sebagai hari yang sempurna, hari yang indah. Bukan bermaksud untuk menghakimiMU. Bukan maksudku untuk mengatur pola takdir yang telah kau tuliskan dalam sebuah buku yang menjadi rahasiamu.
Hariku tidak berjalan sesuai dengan harapanku, Tuhan. Jadi, pantaskah aku mengklaim bahwa engkau tidak mengabulkan pinta kecilku? Maaf, tapi bukankah manusiawi jika tatkala aku berpikir demikian. Dan kurasa, diatas sana engkau tersenyum sempurna menatapi beberapa baris kalimat yang akan menjadi suprise untukku, kelak.
Hari ini aku menjalani hariku sesuai dengan rencana yang ada. Rencana yang telah aku persiapkan matang sebelum hari ini tiba. Beberapa halangan kecil sempat membuat otakku berpikir keras agar rencanaku berjalan dengan lancar.
Awal kupijak hari ini, aku merasa bahagia. Kau tahu, Tuhan? Tidak ada yang lebih menyenangkan dibandingkan mengetahui seseorang khawatir dan perduli padaku. Namun, menjelang matahari mantap diatas kepala, aku kembali menelan sebuah kekecewaan. Haruskah ada kecewa di hari ini?
Aku kembali merasa sendiri. Hatiku tertusuk-tusuk oleh kalimat yang terus mengiang ditelingaku. Kepalaku pening dan tubuhku lemas. Aku bersyukur engkau memberiku sahabat yang siap menderukan gas kendaraan hanya untuk memastikanku baik-baik saja dengan situasi ini. Terimakasih untuk mereka, Tuhan.
Menjelang jubah hitam sang mentari digelar, aku kembali dihampiri rasa kecewa. Dia. Lagi-lagi hal ini menyangkut dia. Seseorang yang masih belum bisa disingkirkan dari hatiku. Haruskah dia menjawab sebuah pertanyaan dengan intonasi yang tinggi ditengah-tengah rasa khawatirku, Tuhan?
Apakah aku terlalu lemah? Tidak, semua wanita juga akan merasakan sakit yang sama. Aku khawatir karena kulihat dia berada dalam posisi yang kuanggap ‘kurang nyaman’. Aku hanya ingin membuatnya merasa nyaman. Merasa nyaman di dekatku. Merasa nyaman bersamaku.
Aku perduli padanya. Jangan tanya alasan keperdulianku selama ini. Tentu saja karena perasaan yang orang sebut dengan rasa sayang.
Tuhan, aku dihadapkan pada banyak pilihan. Bisakah kau membantuku untuk memperjelasnya? Karena hari ini aku benar-benar hampir tidak mengenalnya lagi. Fisiknya masih sama dan disana. Tapi, hati dan perasaannya telah pergi.
Aku hanya ingin tidur, Tuhan. Aku lelah bejalan mengitari bumi mengenal rasa pahit dan sakit.  Aku letih menjadi wanita bertopeng yang menahan rasa sakitnya dengan berpura-pura tersenyum.  Aku muak mengenal seseorang yang tega meninggalkanku disaat cintaku sedang bersemi. Biarkan hati ini beristirahat sejenak dari semua tentang dia. Dan bangunkan aku setelah hati dan perasaannya telah kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar