Sabtu, 19 Oktober 2013

Kemana Hanyutnya Cinta yang Kamu-Aku Perjuangkan

Sampai kapan kau bekukan hatimu itu, Tuan? Tak sadarkah kamu bahwa aku disini menunggumu seorang diri. Lihat sekitarmu, Tuan. Coba rasakan sejenak hembusan angin yang menuntunmu kembali. Pejamkan matamu. Bukalah pikiran dan hatimu untuk mendengar nama siapa yang hatimu sebut. Masihkah hatimu mengingat aku?

Hai, Tuan. Aku telah terbiasa dengan rasa sakit itu. Ya, tepatnya rasa sakit itu telah menyerap di hatiku. Aku kembali memungut serpihan kecil hati yang kamu hempaskan. Tetapi, sia-sia. Tuan, kamu membawa serpihan hatiku. Bisakah kamu mengembalikannya agar aku dapat kembali utuh. Utuh untuk mencintaimu. Atau mungkin mencintai orang lain yang benar-benar tulus untukku.

Ah jangan tanyakan aku mengenai tipe priaku. Aku hanya ingin dia tak menyerah padaku. Bagaimanapun sulitnya situasi saat itu.

Aku pernah menemukan tipe priaku pada sosokmu yang jakung itu. Sosokmu yang terlihat 'biasa saja' tetapi hatiku memandangmu bak pangeran sempurna. Lagi-lagi aku keliru, Tuan. Kamu menyerah padaku. Bahkan disaat aku mencoba berlari diatas jembatan yang rapuh, untukmu. Kamu justru semakin menjauh. Meninggalkanku dengan segala kerapuhan.

Disaat aku menggenggam tanganmu, justru kamu hempaskan. Kamu melihatku terluka dan terjatuh, namun bungkam kembali menjadi pilihan terbaikmu. Inikah kamu yang sesungguhnya, Tuan. Laki-laki yang mudah menyerah. Laki-laki yang telihat melindungi wanitanya, namun ternyata kamu mendorongnya ditebing jurang. Setelah,ia terluka, masih bisakah kamu tertawa hingga detik ini?
Jelaskan mengapa hatiku masih memaafkanmu.

Kemana perginya kenangan bertahun-tahun itu, Tuan. Kemana hanyutnya cinta yang kamu-aku perjuangkan. Kemana tenggelamnya kamu.

Sampai disinikah perjuanganmu?

Rabu, 16 Oktober 2013

Hati yang Telah Pergi



Hari semakin larut. Angin diluar sana berhembus kencang. Sesekali angkasa bergemuruh hebat. Nampaknya, hujan kembali merindukan bumi. Merindukan tiap tetes rintik hujan yang mampu mencium permukaan bumi. Ingin menghirup kerinduan dari aroma bumi ketika tiap tetesnya mencium permukaan bumi.
Ah.. berbicara tentang rindu. Lagi-lagi masalah cinta.
Selamat malam, Tuhan. Hari ini waktu menunjukan pukul 23.23, beberapa menit lagi menjelang hari baru yang kuharap lebih indah dari hari ini.
Tuhan, apakah kau masih ingat permohonan kecilku kemarin? Jadikan hari ini sebagai hari yang sempurna, hari yang indah. Bukan bermaksud untuk menghakimiMU. Bukan maksudku untuk mengatur pola takdir yang telah kau tuliskan dalam sebuah buku yang menjadi rahasiamu.
Hariku tidak berjalan sesuai dengan harapanku, Tuhan. Jadi, pantaskah aku mengklaim bahwa engkau tidak mengabulkan pinta kecilku? Maaf, tapi bukankah manusiawi jika tatkala aku berpikir demikian. Dan kurasa, diatas sana engkau tersenyum sempurna menatapi beberapa baris kalimat yang akan menjadi suprise untukku, kelak.
Hari ini aku menjalani hariku sesuai dengan rencana yang ada. Rencana yang telah aku persiapkan matang sebelum hari ini tiba. Beberapa halangan kecil sempat membuat otakku berpikir keras agar rencanaku berjalan dengan lancar.
Awal kupijak hari ini, aku merasa bahagia. Kau tahu, Tuhan? Tidak ada yang lebih menyenangkan dibandingkan mengetahui seseorang khawatir dan perduli padaku. Namun, menjelang matahari mantap diatas kepala, aku kembali menelan sebuah kekecewaan. Haruskah ada kecewa di hari ini?
Aku kembali merasa sendiri. Hatiku tertusuk-tusuk oleh kalimat yang terus mengiang ditelingaku. Kepalaku pening dan tubuhku lemas. Aku bersyukur engkau memberiku sahabat yang siap menderukan gas kendaraan hanya untuk memastikanku baik-baik saja dengan situasi ini. Terimakasih untuk mereka, Tuhan.
Menjelang jubah hitam sang mentari digelar, aku kembali dihampiri rasa kecewa. Dia. Lagi-lagi hal ini menyangkut dia. Seseorang yang masih belum bisa disingkirkan dari hatiku. Haruskah dia menjawab sebuah pertanyaan dengan intonasi yang tinggi ditengah-tengah rasa khawatirku, Tuhan?
Apakah aku terlalu lemah? Tidak, semua wanita juga akan merasakan sakit yang sama. Aku khawatir karena kulihat dia berada dalam posisi yang kuanggap ‘kurang nyaman’. Aku hanya ingin membuatnya merasa nyaman. Merasa nyaman di dekatku. Merasa nyaman bersamaku.
Aku perduli padanya. Jangan tanya alasan keperdulianku selama ini. Tentu saja karena perasaan yang orang sebut dengan rasa sayang.
Tuhan, aku dihadapkan pada banyak pilihan. Bisakah kau membantuku untuk memperjelasnya? Karena hari ini aku benar-benar hampir tidak mengenalnya lagi. Fisiknya masih sama dan disana. Tapi, hati dan perasaannya telah pergi.
Aku hanya ingin tidur, Tuhan. Aku lelah bejalan mengitari bumi mengenal rasa pahit dan sakit.  Aku letih menjadi wanita bertopeng yang menahan rasa sakitnya dengan berpura-pura tersenyum.  Aku muak mengenal seseorang yang tega meninggalkanku disaat cintaku sedang bersemi. Biarkan hati ini beristirahat sejenak dari semua tentang dia. Dan bangunkan aku setelah hati dan perasaannya telah kembali.

Selasa, 15 Oktober 2013

Tuhan, Bukankah Cemburu Pertanda Sayang?

Selamat pagi, Tuhan. Bagaimana dia disana?
Ah ingin sekali aku bertanya banyak hal, apakah ia rajin menegak butiran obatnya, apakah sakitnya masih kerap mengunjunginya, apakah ia baik-baik saja?
Tapi aku hanya bungkam, Tuhan. Aku takut kehadiranku tidak diinginkannya. Aku malu mengetahui bahwa aku sudah tidak dibutuhkan lagi. Aku tidak ingin mengganggunya dengan ribuan perhatianku untuknya. Mungkin, perhatianku adalah sebuah siksa kecil untuknya. Entahlah, Tuhan. Tunjukan sebuah keajaiban kecil dimana aku bisa merasakan perasaannya. Sehingga, aku tahu apa yang dicarinya, apa yang diinginkannya, dan apa yang membuatnya begitu lama terenyak diluar sana.
Jangan begitu keras menghukumnya dengan rasa sakit yang kerap timbul, Tuhan. Ini semua salahku. Aku yang pantas merasakan hal itu bukan? Jika rasa sakit itu bisa terbagi, aku ingin meringankannya.
Ini pertama kalinya aku merasa begitu lemah dan rapuh. Jika saja KAU tidak hadir memberiku semangat hidup dan ketenangan, mungkin saat ini aku sudah berada dirumahMU. Dengan kuasaMU, kau ciptakan aku dengan bentuk yang indah, kemampuan yang menakjubkan, dan sifat baik dan buruk yang melengkapiku.
Guruku benar, Tuhan. Beliau memperingatkanku untuk menjauhi rasa putus asa. Bukankah itu yang kerap kupikirkan? Oh lihat betapa lemahnya aku.
Tuhan, bisakah kau bantu aku menyingkirkan sedikit sifat burukku? Aku malu mengakuinya, tapi memang benar aku cepat cemburu.
Apakah benar, cemburu tanda sayang? Lalu kenapa aku ditinggalkan karena tanda sayangku sendiri.
Mungkin alasan ini juga yang membuat langkahnya mantap untuk pergi dariku. Sedih, Tuhan. Sedih mengetahui seseorang terluka karena sifatku.

Tuhan, bolehkah aku bercerita tentang apa yang kulihat?
Beberapa hari yang lalu dikelas, aku menyaksikan seorang perempuan (sebut saja amanda) merangkul bahunya. Sekejap rasa hangat menjalar disekujur tubuhku. Jantungku berdegup cepat. Sesuatu mendesak dadaku untuk menangis. Tidak, aku tidak ingin menangis dikelas. Aku juga tidak ingin dia mengetahui apa yang mataku rekam beberapa detik lalu.
Aku menunduk. Mengalihkan pandanganku keluar jendela. Aku memandang. Tapi, pikiranku kosong.
Kucamkan diriku bahwa aku bukan siapa-siapa. Dan aku tidak pantas melukai siapapun dengan rasa cemburu ini.

Cukup panas hati dan mataku, Tuhan. Jauh di lubuk hatiku ikut terluka. Jadi, bisakah KAU membantuku menghilangkan rasa cemburu itu? Oh tidak, bisakah KAU bantu aku untuk membatasi rasa cemburu itu?
Aku tidak ingin kehilangan siapapun karena cemburuku yang terlalu membara. Aku juga tidak ingin seseorang mengira bahwa rasa sayangku hilang karena cemburu tak kunjung mengitariku lagi.

Tuhan, jadikan aku insan yang lebih baik lagi. Untuk diriku sendiri. Dan untuk siapapun yang takut kehilanganku.

Aku Tak Banyak Tahu Tentangmu, Seperti Dulu.

Bertanya, tak membuahkan hasil. Bungkam pun menyakitkan.

Ada banyak hal yang membuat aku dan kamu menjadi kita. Bahkan, kita mampu terurai kembali menjadi aku dan kamu. Dua insan berbeda yang berusaha menentang takdir. Atau mungkin, hanya aku yang berpeluh berusaha menyobek kertas takdir- yang mengatakan kita akan terurai. Air mata membasahi kertas takdir itu, tapi tak mampu menghapusnya. Justru, memperburuk.

Aku mulai terbiasa. Terbangun tengah malam dan menyadari bahwa aku kembali seorang diri. Kenangan kembali menyeruak masuk. Sesak didada kembali menyerang. Butir bening terus mengalir dari kedua mata. Akankah seperti ini terus menerus?

Apa yang menghalangi aku dan kamu kembali menjadi kita? Apakah sesuatu yang disebut orang ketiga. Tidak, kurasa kamu bukan orang seperti itu. Kamu tidak pernah berfikiran buruk terhadapku. Jadi, mengapa aku harus memikirkan hal-hal buruk yang membuatku semakin nelangsa.

Akankah aku masih tetidur pulas dengan kening berkerut tengah memikirkan sesuatu yang sulit. Akankah aku masih tertidur hingga detik ini. Akankah ini mimpi burukku yang terlihat nyata.

Sleep paralysis biasanya menyapaku dua kali sebulan. Biasanya, aku akan mengirimkan pesan singkat bahwa aku terbangun. Betapa berbedanya dengan keadaan sekarang. Kamu bahkan tidak perduli lagi. Dan kamu sendiri yang mengatakan bahwa kamu tidak bisa memberikanku perhatian untuk perduli.

Ada apa? Apakah bumi baru saja berputar 180 derajat dalam sedetik dan merusak susunan tata surya?
Apa yang salah denganku. Apa yang salah dengan semuanya. Aku bahkan rela menjadi cermin untuk bercermin padahal aku adalah cermin. Kamu tahu betapa susahnya itu. Tapi aku melakukannya.

Jadi bagian mana yang perlu kucermini? Tidakkah itu cukup bagimu. Atau yang kamu cari adalah kesempurnaan? Oh Tuhan. Kemana arah semua ini berlayar. Aku hanya gadis biasa yang penuh dengan kekurangan. Bahkan aku kerap malu pada diriku sendiri atas apa yang kurang dari tubuhku. Dahulu, kamu menerima semuanya. Kamu menerimaku satu paket.
Aku bukan gadis tinggi, berambut panjang, kulit putih, dengan penuh talenta. Seperti itukah yang kamu cari?
Hanya kamu yang tahu. Karena aku tidak lagi banyak tahu tentangmu.

Senin, 14 Oktober 2013

Kuharap Kau Dapatkan Pesanku untuk Mengingat Jalan Pulang

Untuk seseorang nun jauh disana, yang hatinya telah berlabuh disuatu tempat tanpa kehadiranku. Yang ingatannya telah dibekukan rasa sakit karena ulahku.
last thing that left

Tuhan, kali ini aku bercerita lagi tentang dia. Bagaimana perasaanku yang tak kunjung sembuh dari semua tentangnya. Bagaimana perasaanku terus menjerit dan meronta ingin kembali pada suasana indah dimana aku dan dia tak perlu berpikir cukup lama untuk membicarakan hal-hal kecil dalam pesan singkat.
Tuhan, apa kau disana? Apa kau mendengar doaku?
Namanya tak pernah luput bersenandung dengan lantunan ayat suci dari bibirku. Doa yang kupinta mungkin terlihat berat dan tidak memungkinkan untuk terjadi. Tapi aku tidak menyerah. Aku tidak putus asa menunggu tanganMU terbuka lebar memberiku sebuah harapan yang terwujud dan terbungkus indah. Bukan kah itu yang KAU ajarkan pada kami, Tuhan? Untuk tidak menyerah dan berputus asa.
Sebelum aku menyesali semua kesalahanku yang membuat dia pergi begitu jauh dariku, aku berterimakasih kepadaMU. Mataku tidak akan terbuka lebar untuk melihat sikapku yang terlalu bermanja dalam pangkuannya. Hatiku tidak akan peka merasakan sakit dan lukanya dibalik senyum yang dia tampakkan dihadapanku. Telingaku bahkan tidak akan mendengar isakkan tangisnya dari seberang telpon.
Tuhan, apakah disana dia juga menceritakan semua tentangku padamu? Apakah dia disana sepertiku, mengharapkan suatu titik dimana kita akan bersama?
Entahlah. Tuhan, apakah ini hanya perasaanku saja? Aku disini berperang melawan diriku sendiri. Berperang melawan rindu yang terus menyapaku. Berperang melawan sisa hati yang dia tinggalkan. Bahkan cintaku masih disini, terus menantinya. Apakah itu salah?
Sementara yang kurasa, dia terlihat sangat bahagia. Tawanya terus membahana memenuhi ruang hampa diudara. Senyumnya terus mengembang seperti yang terekam bola mataku. Coba lihat, Tuhan. Bahkan gerak geriknya terlihat sempurna. Seperti “hal ini” adalah sesuatu yang dicarinya sejak lama.
Tuhan, aku diciptakan dengan kekurangan dan ketidaksempurnaan. Apakah diluar sana ada orang yang akan menyempurnakanku? Hingga kini, aku masih hafal. Aku masih bisa mengeja namanya yang mampu menyempurnakan hidupku. Hal itu adalah pertama kalinya aku merasa sempurna.  Apakah kesempurnaanku memang ditakdirkan bersamanya?
Dahulu. Dahulu sekali, aku dan dia percaya bahwa kami ditakdirkan bersama. Entah kemana kepercayaan itu, hilang menguap ditelan bersama harapan yang tertinggal lainnya.
Aku dan dia membangun sebuah surga di dunia, dimana kami bisa mengisinya dengan tawa dan senandung canda. Dimana, aku dan dia akan bertahan di dunia untuk melihat surga kami yang semakin sempurna dengan tiap butir harapan yang terwujud.
Tuhan, mungkin aku pernah pergi terlalu jauh dari surgaku. Aku menapakkan kaki hingga aku tersesat. Dia mungkin pernah keluar jauh dari surga untuk mencariku. Dan dia tersesat. Kini kami berada di jalan berbeda. Jalan dimana aku mencari jalan pulang menuju surga dan menunggunya kembali. Dan, jalan dimana dia akan mendapatkan telepatiku untuk kembali ke surga.
Tuhan, jika harapanku terwujud. Jangan biarkan aku menapakkan kaki terlalu jauh dari surgaku. Hingga, aku tidak perlu berada di jalan lain dan terpisah darinya. Dan aku tidak perlu mengulangi kesalahan yang sama.