Malam ini aku tidur lebih awal, yah
sekitar jam 8 karena aku sangat letih setelah mengikuti beragam les. Aku kelas
3 SMP, orang tuaku ingin melihatku masuk kesekolah favorit di kota ini sehingga
mereka mendaftarkan aku les di beragam tempat.
Aku bermimpi. Entah apa yang aku
mimpikan yah aku rasa mimpi buruk. Aku tidak bisa bernafas, bergerak,
berteriak. Mimpi ini sangat menggangguku. Sudah sangat sering aku bermimpi
seperti itu sehingga ketika aku bermimpi lagi, yah aku sadar bahwa aku sedang
bermimpi. Satu-satunya cara agar aku terbangun adalah ketika ada orang yang
membangunkanku atau aku berjuang keras untuk bergerak hingga aku tidak larut
dalam mimpi buruk itu.
Aku tidak tahu, akan pergi kemana
jiwaku jika aku tidak dapat bangun dalam mimpi seperti itu. Syukurlah, malam
ini aku berhasil bangun dengan susah payah berjuang menggerakkan kepalaku.
Aku bangun. Lama aku berdiam diri,
melamun menunggu kantukku datang lagi. sudah jam 1.30 pagi. Kemudian aku
terlelap….
Alhasil aku bangun terlambat. Pagi-pagi udah olahraga batinku. Aku
berlari kesana kemari untuk mandi, berpakaian, kemudian sarapan hingga
berangkat sekolah.
“eh tumben dateng jam segini.” Sapa
temanku lisa. Yah lisa merupakan sahabatku. Sahabatku yang sering terlambat!
Lisa si tukang ngaret, nama bekennya. “mau ikutan ngaret kayak aku juga?”
Aku masih mengatur nafas karena mendapat
hukuman dari pak rahmat, yang kebetulan melihatku berusaha kabur. “Iya!”
jawabku malas, berharap lisa tahu aku sedang tidak ingin diganggu.
“eh serius?” matanya membulat kegirangan.
“oke. Kalo kamu mau jadi tukang ngaret kayak aku, aku bisa kasih kamu tips
supaya jadi tukang ngaret yang handal. Gratis kok!”
“ah udah deh lis. Aku capek nih habis
lari keliling lapangan.”
“hah? Kok bisa?”
“eh kayaknya kamu perlu jabatan baru deh.
Lisa si lemot!” seruku tajam. “aku telaaaaaaattttt.”
“oh iya ya. Aku lupa kamu telat.
Hehe..”
Se-lemot apapun lisa, yah dia lisa-ku.
Lisa sahabatku sejak taman kanak-kanak. Jabatan “ngaret” memang udah dia dapat
dari TK. gak tahu deh lisa makannya apa tiap pagi. Batu kali, tiap hari ngaret
alasannya Cuma sakit perut mau nyetor. Gak ada sahabat yang sempurna. bagiku
lisa sudah sempurna. dia loyal banget deh jadi sahabat. Rela berjam-jam nunggu
didepan pagar rumahku hanya untuk menunggu kata ‘maaf’ dariku, padahal waktu
itu yang salah sih aku. Hehe…
Selain lisa, aku juga punya pacar.
Namanya deni. Dia tinggal di bandung. Yap, kita LDR. Aku sudah pacaran 3 tahun
sama deni. Deni beda beberapa tahun denganku, dia kelas 2 SMA. Komunikasi kami
lancar, tetapi karena sebentar lagi aku menghadapi ujian nasional, deni
mengerti itu dan dia gak mau merusak konsentrasi belajarku. Dia gak pernah
menelpon atau mengirimkan aku sms. Huh,
padahal ujian nasional masih lumayan lama.
“rahma.. rahma… ssttt…” lisa yang
duduk disampingku menyikutku pelan.
“apaan sih? Lagi belajar nih. Kamu
udah selesai nyatet belom?” jawabku ganas. Jam pelajaran bahasa Indonesia
memang identik dengan kata catat mencatat. Hari ini pak sabar, guru bahasa
Indonesia kami berhalangan masuk kelas. Beliau pergi ke dinas mengurus sesuatu.
Aku lupa apa namanya.
“ih jangan judes itu dong. Senyum ma,
senyum.” Lisa menusuk-nusuk ujung bolpennya ke pipiku.
“lis, to the point deh. Kamu gak liat
muka ku lagi ganas gini? Kamu mau aku makan? Kamu tau aku suka gigit kan?” yap.
Satu hal yang aku suka adalah mengigit. Senjataku ketika aku diganggu ya gigiku
ini.
“iya iya maaf deh ma. Jangan pake urat
gitu lagi. aku Cuma mau tau kenapa kamu telat tadi pagi? Tumben dalam sejarah
seorang Rahma Putri Diana terlambat!” serunya keras. Sontak teman-teman kelas
yang sedang mencatat menegurnya.
“eh bisa diem gak?!” tegur dinda, sang
ketua suku. Sebut saja ketua suku untuk ketua kelas.
“hehe maaf yak!” lisa Cuma bisa cengir
plus mata berkaca-kaca kalo udah disalah-salahin. Sungguh lisa yang malang.
Terbuat dari apa hatinya itu.
Prihatin aku melihat lisa yang mulai
menunduk yang kelihatannya sebentar lagi akan meledak menangis, aku mulai
mencoba menghiburnya. “udah gak usah dimasukin hati. Lagian kamu gak usah hot
gitu lagi. aku kan masih bisa denger.” Lisa menoleh menatapku. Kelihatan sekali
dia sedang berusaha menelan airmatanya tadi. “aku mimpi buruk aja lis. Aku
bangun jam setengah dua.”
“ya ampun kok sering banget sih?” lisa
udah terlihat ceria. Ya ampun lisa ini apa sih. “mama papa kamu udah tau ini?”
“sudah.” Balasku sambil tetap menulis.
“mereka bilang apa?” sebagai balasan
aku hanya mengangkat bahu, melanjutkan menulis dan dia diam.. benar-benar diam.
Hening.
*****
“Ma, kenapa rahma suka mimpi gitu ya?
Tadi malam rahma mimpi lagi.” aduku ketika mama muncul di depan pintu sepulang
sekolah.
“Oh iya mama lupa. Kata temen mama sih,
rahma punya bakat alam eh apa ya… mama lupa namanya. Pokoknya ya itu deh. Rahma
bisa ngerasain sesuatu itu.”
“sesuatu apa ma? Maksudnya yang
hantu?”
“mungkin.”
Setelah aku pikir-pikir ada benarnya
juga sih. Aku kadang suka merasa ada sesuatu
kalo udah ditempat seram, yah mungkin semua orang pasti tau sih kalo ditempat
seram ada aja penunggunya. Tapi ini… em.. sedikit berbedalah. Susah untuk
dijelaskan dengan kata-kata. Hehe.
*****
Semenjak aku tau kalo aku bisa
merasakan keberadaan mereka, aku
semakin sensitif. Baru aja ada suara kecil, aku sudah berfikir yang
macam-macam. Cepat kaget kalo lisa udah ngomong yang nadanya sedikit naik
beberapa oktaf.
Akhirnya aku putusin buat lupain aja
tentang hal itu. Aku juga gak percaya kalo aku bisa ngerasain keberadaan mereka
karena ya memang belum terbukti secara akurat aja sih.
Sampai akhirnya…
“pa, aku pulang.” Aku yang baru pulang
les, baru nyampe rumah pas maghrib. Keadaan rumah masih kosong, tapi aku tau
mama papa ada di dalam. Yap! Tepatnya disana.. dibelakang sana aku melihat
papa. Awalnya sih aku gak sadar. Aku terus aja masuk ke ruangan tempat aku
melihat papa. Setelah masuk ruangan itu, aku menyalakan lampu.. dan….
Dan disana gak ada siapa-siapa!
Bulu kudukku mulai berdiri, jelas aja
aku takut tapi aku sok-sok berani. Aku jalan pelan-pelan meninggalkan ruangan
itu. Pelan… pelan… pelan… hingga aku berlari seperti dikejar setan menaiki anak
tangga.
“rahma apaan sih? Naik tangga ya pelan
aja, ntar jatuh kan repot.”
Huuuhh.. syukurlah.. itu mama! Aku
kembali mengatur nafas kemudian memberanikan diri bertanya. “ma, tadi papa
dibelakang ya?”
“gak pernah, daritadi ya papa disini sama
mama nonton TV. Ada apa sayang?”
Dug! Seperti ada sesuatu yang
menghantam telak di dadaku. “gak.. gak ada apa-apa kok ma.”
*****
Cukup menegangkan bagaimana kau
melihat seseorang dan ternyata itu
bukanlah orang melainkan sesuatu. Pagi itu, aku duduk dikantin
bersama lisa. Aku menceritakan semuanya. Lisa tampak tenang-tenang saja. Hebat juga lisa gak takut. Kuat iman betul
nih, batinku. Hari itu lisa menjadi anak pendiam. Dia yang biasanya gaduh
jadi tenang.
“kamu kenapa sih? Tumben aja jadi anak
manis?” kami berjalan ke kelas.
“sakit gigi!” bentaknya dengan raut
wajah berlipat-lipat.
“oh bagus dong.”
“bagus apanya sih ma? Tega banget kamu
jadi sahabat. bahagia di atas penderitaan orang lain!”
“idih udah pinter ya. Bahasa kamu
ituloh membuatku tersanjung. Hehe” lisa hanya menatapku sengit kemudian kembali
diam. “yeh maaf lah.” Aku mulai menggodanya “lebih baik sakit gigi daripada
sakit ha…” baru saja aku akan menyelesaikan dangdutanku, aku merasa ada yang
menyenggolku.
“WOOOI SIAPA BERANI SENGGOL-SENGGOL
AKU! Belom tau ya gigiku baru di asah buat gigit kalian!” bentakku pada seisi
kelas. Ya! Seisi kelas. Faktanya kelas sepi. Jam istirahat pastinya seisi kelas
pada di kantin.
Jujur saja. Aku tidak ingin merasakan
apa-apa. Aku ingin menjadi normal. Oke? Normal! Tidur dengan nyenyak dan tidak
perlu terbangun oleh mimpi buruk dari alam anatah berantah.
Aku menatap lisa dan dengan polosnya
lisa menatapku kemudian mengalihkan aku. Ah
terus saja begitu lis. Kapan kamu gak lemot sih?
Aku menatap sekeliling ruang kelas.
Agak sedikit takut sih. Tapi aku harus biasa. lama-lama juga pasti terbiasa.
*****
Telpon rumahku berdering ketika aku
sedang makan malam bersama. Mama berjalan mengangkat gagang telpon itu, entah
mengapa aku merasa terpanggil. Kemudian mama menatapku dan mengatakan bahwa
telpon itu untukku.
“halo. Siapa ya?” aku menyapa dengan
lembut.
“rahma? Ini deni.” Suaranya terdengar sangat lemah.
“hah? Siapa?” aku sangat bahagia
hingga aku ingin mendengarnya sekali lagi.
“deni.” Aku menjerit sekeras-kerasnya
hingga mama dan papa terkejut menolehku. Aku memberi aba-aba bahwa yang aku
maksud ini deni!
“halo deni? Iya deni apa kabar? Rahma
kangen.”
“deni juga kangen rahma. Deni sayang
rahma. Besok deni pulang ya sayang.” Suaranya terdengar makin menghilang.
“hah? Pulang? Deni mau kesini? Iya
rahma tunggu ya den.”
“tut..tut…tut..” tiba-tiba sambungan
terputus. Aku sangat kecewa. Tapi aku bahagia karena deni akan pulang.
Kok
tumben deni telponnya gak ke hp aku aja ya?
*****
Aku tertidur sangat lelap. Paginya aku
melihat layar hp. Aku nyaris lompat dari kasur melihat miscall dari deni
sebanyak 14 kali, dan sms kosong 14 kali. Aku mencoba mengingat apa mimpi-ku
semalam. Melihat jam sudah menunjukan waktu limit. Lagi-lagi aku berolahraga
pagi hari.
Hari ini papa yang nyetir karena pak
yanto, supir kami sedang sakit. Ketika aku melangkahkan kaki keluar dari rumah,
aku merasakan sesuatu. Bukan tentang hantu. Tetapi ada sesuatu yang hilang. Aku
mencoba mengingat apa yang kurang. Hp,
udah ada. Uang saku, udah ada. Tas, ada. Ini itu lengkap. Apa yang kurang ya?
Aku duduk dibelakang, melihat
orang-orang dalam perjalanan. Ada anak-anak yang tertawa, ada penjual kaki
lima, wah banyak deh. Aku merasakan sesuatu yang lembut menyentuh ujung jariku.
Seperti… tangan. Aku kaget, menarik tanganku dan menoleh tetapi tidak ada
siapa-pun disampingku.
Selama perjalanan, orang-orang yang
kulewati menoleh menatapku dengan wajah sedih. Pagi ini cerah. Apa kesedihan
mereka?
*****
Waktu hari ini terasa sangat cepat.
Aku tidak menyangka bu marda guru biologi memulangkan kami cepat. Tentu saja
itu menimbulkan kelas menjadi gaduh seperti pasar. Mereka semua ribut mengoceh
layaknya dagangan mereka yang belum habis terjual.
Hari ini lisa sudah sembuh, dia sangat
senang mendengar deni akan pulang. Ditengah-tengah keributan ini, kembali
teringat suara deni “Deni sayang rahma.
deni pulang ya sayang.” Mungkin aku sudah kangen banget sama deni.
“mimpi kamu semalem apa?” tiba-tiba
lisa memecahkan lamunanku.
“gigiku copot.” Aku langsung tersadar.
Tadi aku susah payah mengingat apa mimpiku tetapi aku tidak berhasil juga dan
sekarang aku meluncurkannya sendiri.
“serius? Kata dinda kalo mimpi gigi
copot ada yang mau.. emm.. kehilangan.” Lisa menatapku khawatir.
“iya serius. Ah aku baru denger yang
begituan.” Jawabku asal.
Ketika kami sampai di depan gerbang
sekolah, aku masih bercanda-canda. Aku duduk di pinggiran teras sekolah. Aku
menunggu papa menjemputku sambil menatap keramaian jalan raya. Sesekali aku
melirik jam tanganku 14.12 PM
Pandanganku terpaku pada seseorang
disana, ia menggunakan pakaian rapi sambil membawa se-bucket mawar warna-warni
digenggamannya. Aku tersenyum padanya ketika ia melihatku. Samar-samar aku
merasa mengenalnya. Aku berdiri ketika mengingat siapa orang itu. Itu deni! Sorakku dalam hati bahagia.
Aku berdiri hendak berlari. Deni berjalan lurus. Aku menatap senyumnya lekat.
Senyum khasnya. Aku melirik lagi jam tanganku 14.14 PM
Sebuah truk angkutan pasir melintas
tidak terlihat dan…
“DUAARRR!” semua menoleh menuju tempat
kejadian, semua orang berlari. Kejadian itu sangat kilat, sedetik.
Lututku bergetar tak sanggup lagi
menopang tubuhku. Airmataku merebak diujungnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa
lagi. mawar itu terpental. Mawar itu berserakan dijalan raya bersama darah dan
pasir. Deni masih disana tergeletak.
Mawar merah jatuh tepat di ujung
sepatuku. Aku mengambilnya kemudian menguatkan diri berlari menuju deni.
Aku melihatnya tidak bergerak, tidak
bernafas, diam membeku disana. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku memeluknya.
Memeluknya yang sudah meninggalkan tubuhnya. Jiwanya sudah pergi melanjutkan
perjalanan. Perjalanan dari kehidupan yang sebenarnya.
Aku lemas tapi tetap menggenggam erat
mawar merah itu. Lisa sudah berdiri disampingku ketika ambulance datang.
Aku tidak tahan melihat orang yang ku
sayangi dalam kondisi yang sudah pergi.
Aku terjatuh. Dan aku pingsan.
*****
Aku terbangun dikamarku. Semua seperti
telah ditunjukkan padaku. Aku mengingat tanda pertama yang ia berikan padaku “deni juga kangen rahma. Deni sayang rahma.
Besok deni pulang ya sayang.” Ternyata deni pulang kesini dan dia juga
pulang untuk selamanya.
Aku melihat 14 miscall dan 14 sms
kosong dari deni dan tepat jam 14.14 PM truk itu menyambar tubuhnya.
Aku merasakan seseorang menyentuh
lembut jariku, aku yakin itu pertanda dari deni.
Aku merasakan kehilangan, itu karena
deni yang akan hilang dari hidupku.
Semua itu sudah deni tunjukkan padaku.
Perasaanku bercampur duka.
*****
Seminggu kemudian…
Perasaanku sudah mulai pulih walaupun
belum sepenuhnya. Aku sudah mulai bersekolah walaupun jiwaku masih entah
dimana.
Lisa masih khawatir melihat aku yang
suka merenung.
“rahma, udah gih jangan sedih lagi ya.
Kamu kuat kok. Ikhlas ya rahma. Biarin dia tenang disana. Deni sayang sama
rahma kok.” Aku hanya membalasnya dengan senyuman. “aku tinggal bentar ya. Aku
ke kantin cari minuman.” Aku mengangguk.
Beberapa menit kemudian aku tersadar
bahwa aku sendirian dikelas.
Aku mulai merasa hawa lain. Tiba-tiba
saja pandanganku menjadi buram. Aku mengucek-ucek mataku. Dan ketika mataku
normal, aku terkejut melihat siapa yang duduk disampingku.
Senyumnya masih sama. Wajahnya berseri
masih sama. Semua masih sama. Hanya satu yang beda. Dia bukanlah seperti ku.
Deni tersenyum lebar.
Aku melihatnya. Ya! Aku melihat mereka.
Orang-orang yang tidak seharusnya aku lihat.
Pikiran pertama yang ada dibenakku
adalah mengapa aku bisa melihat mereka?
Apakah aku sudah mati beberapa detik yang lalu? Seakan deni bisa membaca
pikiranku, dia tersenyum kemudian mengusap lembut tiap helai rambutku.
“kamu belum mati rahma.” Ia berusaha
menahan tawa. Mataku sudah berkaca-kaca, perasaanku bercampur aduk antara
kangen dan takut. Bagaimanapun juga deni sudah menjadi hantu. Ya! Hantu
walaupun wajahnya gak menyeramkan seperti hantu-hantu di film. Pandanganku
beralih dari wajah tampan deni ke hantu-hantu lain yang ternyata ada di
kelasku. Aku hampir saja teriak ketika aku melihat ada diantara mereka yang
berlumuran darah. “jangan takut rahma, mereka gak ganggu kamu selama kamu gak
ganggu mereka. Deni di sini.”
“tapi rahma takut...” Tentu aja takut,
ini kan pertama kalinya aku bisa melihat hantu, ditambah lagi pembukaannya ya
hantu pacarku sendiri.
“lama-lama rahma terbiasa kok.” Lembut
suaranya tidak pernah berubah, hidup ataupun mati. Ia terdiam beberapa lama,
aku memandanginya dengan perasaan sedih. Tampak jelas kesedihan di bola mata
itu. “Deni sayang sama rahma.” Tiba-tiba saja air mataku mengalir tak
tertahankan.
“Rahma juga sayang deni.” Aku mencoba
kuat untuk mampu berbicara. “de..deni kenapa pergi tinggalin rahma? Rahma gak
mau ditinggal. Rahma mau deni disini.” Aku berusaha menyelesaikan kalimatku
dengan susah payah.
“Tuhan udah ngatur semuanya rahma.
Deni gak bakal tinggalin rahma, deni selalu disekitar rahma.” Deni tersenyum
mengusap air mata yang terus mengalir di pipiku. Percuma saja, karena aku terus
menangis dan menangis. “rahma, deni boleh minta sesuatu?”
“minta apa?” bibirku bergetar takut
mendengar permohonannya.
Ia berdiri dari bangku yang
didudukinya tadi mundur satu langkah “deni mau kamu buka lembaran baru, rahma.
Hidup kamu masih panjang. Deni harus pergi, kita udah beda dunia sayang.” Deni
mundur beberapa langkah lagi.
“deni, rahma gak bisa.” Aku mencoba
menarik tangannya mendekat ketika bayangannya mulai memudar.
“kamu bisa, sayang. Kamu kuat.
Ikhlasin deni, rahma.” Semakin lama deni semakin mundur dan memudar begitu juga
dengan hantu-hantu lainnya dikelas ini. “selamat tinggal, rahma.” Dan detik
berikutnya deni benar-benar menghilang.
Aku menjerit histeris mencoba memanggilnya
hingga lisa datang. Aku yakin sejenak lisa pasti mengira bahwa aku sudah gila
tapi, aku tahu lisa mengerti kondisiku. Aku semakin lemas, air mata terus
mengalir melewati pipiku, aku bergetar, aku jatuh dan pingsan.
*****
Tidak ada yang bisa aku lakukan selain
ikhlas dan terus mendoakannya bahagia disana. Aku memutuskan untuk membuka
lembaran baru, kembali menatap duniaku dengan ceria. Deni benar, dia tidak
pernah meninggalkanku karena dia selalu ada di sekitarku. Aku merasakannya,
selalu merasa dekat dengannya. Melalui mimpi, hawa, dan semua yang dapat aku
rasakan yah aku tahu dia disana. Dia selalu menemaniku.
-the end-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar