Senin, 20 Agustus 2012

Kita sudah berbeda ♥



Malam ini aku tidur lebih awal, yah sekitar jam 8 karena aku sangat letih setelah mengikuti beragam les. Aku kelas 3 SMP, orang tuaku ingin melihatku masuk kesekolah favorit di kota ini sehingga mereka mendaftarkan aku les di beragam tempat.
Aku bermimpi. Entah apa yang aku mimpikan yah aku rasa mimpi buruk. Aku tidak bisa bernafas, bergerak, berteriak. Mimpi ini sangat menggangguku. Sudah sangat sering aku bermimpi seperti itu sehingga ketika aku bermimpi lagi, yah aku sadar bahwa aku sedang bermimpi. Satu-satunya cara agar aku terbangun adalah ketika ada orang yang membangunkanku atau aku berjuang keras untuk bergerak hingga aku tidak larut dalam mimpi buruk itu.
Aku tidak tahu, akan pergi kemana jiwaku jika aku tidak dapat bangun dalam mimpi seperti itu. Syukurlah, malam ini aku berhasil bangun dengan susah payah berjuang menggerakkan kepalaku.
Aku bangun. Lama aku berdiam diri, melamun menunggu kantukku datang lagi. sudah jam 1.30 pagi. Kemudian aku terlelap….
Alhasil aku bangun terlambat. Pagi-pagi udah olahraga batinku. Aku berlari kesana kemari untuk mandi, berpakaian, kemudian sarapan hingga berangkat sekolah.
“eh tumben dateng jam segini.” Sapa temanku lisa. Yah lisa merupakan sahabatku. Sahabatku yang sering terlambat! Lisa si tukang ngaret, nama bekennya. “mau ikutan ngaret kayak aku juga?”
Aku masih mengatur nafas karena mendapat hukuman dari pak rahmat, yang kebetulan melihatku berusaha kabur. “Iya!” jawabku malas, berharap lisa tahu aku sedang tidak ingin diganggu.
“eh serius?” matanya membulat kegirangan. “oke. Kalo kamu mau jadi tukang ngaret kayak aku, aku bisa kasih kamu tips supaya jadi tukang ngaret yang handal. Gratis kok!”
“ah udah deh lis. Aku capek nih habis lari keliling lapangan.”
“hah? Kok bisa?”
“eh kayaknya kamu perlu jabatan baru deh. Lisa si lemot!” seruku tajam. “aku telaaaaaaattttt.”
“oh iya ya. Aku lupa kamu telat. Hehe..”
Se-lemot apapun lisa, yah dia lisa-ku. Lisa sahabatku sejak taman kanak-kanak. Jabatan “ngaret” memang udah dia dapat dari TK. gak tahu deh lisa makannya apa tiap pagi. Batu kali, tiap hari ngaret alasannya Cuma sakit perut mau nyetor. Gak ada sahabat yang sempurna. bagiku lisa sudah sempurna. dia loyal banget deh jadi sahabat. Rela berjam-jam nunggu didepan pagar rumahku hanya untuk menunggu kata ‘maaf’ dariku, padahal waktu itu yang salah sih aku. Hehe…
Selain lisa, aku juga punya pacar. Namanya deni. Dia tinggal di bandung. Yap, kita LDR. Aku sudah pacaran 3 tahun sama deni. Deni beda beberapa tahun denganku, dia kelas 2 SMA. Komunikasi kami lancar, tetapi karena sebentar lagi aku menghadapi ujian nasional, deni mengerti itu dan dia gak mau merusak konsentrasi belajarku. Dia gak pernah menelpon atau mengirimkan aku sms. Huh, padahal ujian nasional masih lumayan lama.
“rahma.. rahma… ssttt…” lisa yang duduk disampingku menyikutku pelan.
“apaan sih? Lagi belajar nih. Kamu udah selesai nyatet belom?” jawabku ganas. Jam pelajaran bahasa Indonesia memang identik dengan kata catat mencatat. Hari ini pak sabar, guru bahasa Indonesia kami berhalangan masuk kelas. Beliau pergi ke dinas mengurus sesuatu. Aku lupa apa namanya.
“ih jangan judes itu dong. Senyum ma, senyum.” Lisa menusuk-nusuk ujung bolpennya ke pipiku.
“lis, to the point deh. Kamu gak liat muka ku lagi ganas gini? Kamu mau aku makan? Kamu tau aku suka gigit kan?” yap. Satu hal yang aku suka adalah mengigit. Senjataku ketika aku diganggu ya gigiku ini.
“iya iya maaf deh ma. Jangan pake urat gitu lagi. aku Cuma mau tau kenapa kamu telat tadi pagi? Tumben dalam sejarah seorang Rahma Putri Diana terlambat!” serunya keras. Sontak teman-teman kelas yang sedang mencatat menegurnya.
“eh bisa diem gak?!” tegur dinda, sang ketua suku. Sebut saja ketua suku untuk ketua kelas.
“hehe maaf yak!” lisa Cuma bisa cengir plus mata berkaca-kaca kalo udah disalah-salahin. Sungguh lisa yang malang. Terbuat dari apa hatinya itu.
Prihatin aku melihat lisa yang mulai menunduk yang kelihatannya sebentar lagi akan meledak menangis, aku mulai mencoba menghiburnya. “udah gak usah dimasukin hati. Lagian kamu gak usah hot gitu lagi. aku kan masih bisa denger.” Lisa menoleh menatapku. Kelihatan sekali dia sedang berusaha menelan airmatanya tadi. “aku mimpi buruk aja lis. Aku bangun jam setengah dua.”
“ya ampun kok sering banget sih?” lisa udah terlihat ceria. Ya ampun lisa ini apa sih. “mama papa kamu udah tau ini?”
“sudah.” Balasku sambil tetap menulis.
“mereka bilang apa?” sebagai balasan aku hanya mengangkat bahu, melanjutkan menulis dan dia diam.. benar-benar diam. Hening.

*****
“Ma, kenapa rahma suka mimpi gitu ya? Tadi malam rahma mimpi lagi.” aduku ketika mama muncul di depan pintu sepulang sekolah.
“Oh iya mama lupa. Kata temen mama sih, rahma punya bakat alam eh apa ya… mama lupa namanya. Pokoknya ya itu deh. Rahma bisa ngerasain sesuatu itu.”
“sesuatu apa ma? Maksudnya yang hantu?”
“mungkin.”
Setelah aku pikir-pikir ada benarnya juga sih. Aku kadang suka merasa ada sesuatu kalo udah ditempat seram, yah mungkin semua orang pasti tau sih kalo ditempat seram ada aja penunggunya. Tapi ini… em.. sedikit berbedalah. Susah untuk dijelaskan dengan kata-kata. Hehe.

*****
Semenjak aku tau kalo aku bisa merasakan keberadaan mereka, aku semakin sensitif. Baru aja ada suara kecil, aku sudah berfikir yang macam-macam. Cepat kaget kalo lisa udah ngomong yang nadanya sedikit naik beberapa oktaf.
Akhirnya aku putusin buat lupain aja tentang hal itu. Aku juga gak percaya kalo aku bisa ngerasain keberadaan mereka karena ya memang belum terbukti secara akurat aja sih.
Sampai akhirnya…
“pa, aku pulang.” Aku yang baru pulang les, baru nyampe rumah pas maghrib. Keadaan rumah masih kosong, tapi aku tau mama papa ada di dalam. Yap! Tepatnya disana.. dibelakang sana aku melihat papa. Awalnya sih aku gak sadar. Aku terus aja masuk ke ruangan tempat aku melihat papa. Setelah masuk ruangan itu, aku menyalakan lampu.. dan….
Dan disana gak ada siapa-siapa!
Bulu kudukku mulai berdiri, jelas aja aku takut tapi aku sok-sok berani. Aku jalan pelan-pelan meninggalkan ruangan itu. Pelan… pelan… pelan… hingga aku berlari seperti dikejar setan menaiki anak tangga.
“rahma apaan sih? Naik tangga ya pelan aja, ntar jatuh kan repot.”
Huuuhh.. syukurlah.. itu mama! Aku kembali mengatur nafas kemudian memberanikan diri bertanya. “ma, tadi papa dibelakang ya?”
“gak pernah, daritadi ya papa disini sama mama nonton TV. Ada apa sayang?”
Dug! Seperti ada sesuatu yang menghantam telak di dadaku. “gak.. gak ada apa-apa kok ma.”
*****
Cukup menegangkan bagaimana kau melihat seseorang dan ternyata itu bukanlah orang melainkan sesuatu. Pagi itu, aku duduk dikantin bersama lisa. Aku menceritakan semuanya. Lisa tampak tenang-tenang saja. Hebat juga lisa gak takut. Kuat iman betul nih, batinku. Hari itu lisa menjadi anak pendiam. Dia yang biasanya gaduh jadi tenang.
“kamu kenapa sih? Tumben aja jadi anak manis?” kami berjalan ke kelas.
“sakit gigi!” bentaknya dengan raut wajah berlipat-lipat.
“oh bagus dong.”
“bagus apanya sih ma? Tega banget kamu jadi sahabat. bahagia di atas penderitaan orang lain!”
“idih udah pinter ya. Bahasa kamu ituloh membuatku tersanjung. Hehe” lisa hanya menatapku sengit kemudian kembali diam. “yeh maaf lah.” Aku mulai menggodanya “lebih baik sakit gigi daripada sakit ha…” baru saja aku akan menyelesaikan dangdutanku, aku merasa ada yang menyenggolku.
“WOOOI SIAPA BERANI SENGGOL-SENGGOL AKU! Belom tau ya gigiku baru di asah buat gigit kalian!” bentakku pada seisi kelas. Ya! Seisi kelas. Faktanya kelas sepi. Jam istirahat pastinya seisi kelas pada di kantin.
Jujur saja. Aku tidak ingin merasakan apa-apa. Aku ingin menjadi normal. Oke? Normal! Tidur dengan nyenyak dan tidak perlu terbangun oleh mimpi buruk dari alam anatah berantah.
Aku menatap lisa dan dengan polosnya lisa menatapku kemudian mengalihkan aku. Ah terus saja begitu lis. Kapan kamu gak lemot sih?
Aku menatap sekeliling ruang kelas. Agak sedikit takut sih. Tapi aku harus biasa. lama-lama juga pasti terbiasa.

*****
Telpon rumahku berdering ketika aku sedang makan malam bersama. Mama berjalan mengangkat gagang telpon itu, entah mengapa aku merasa terpanggil. Kemudian mama menatapku dan mengatakan bahwa telpon itu untukku.
“halo. Siapa ya?” aku menyapa dengan lembut.
“rahma? Ini deni.”  Suaranya terdengar sangat lemah.
“hah? Siapa?” aku sangat bahagia hingga aku ingin mendengarnya sekali lagi.
“deni.” Aku menjerit sekeras-kerasnya hingga mama dan papa terkejut menolehku. Aku memberi aba-aba bahwa yang aku maksud ini deni!
“halo deni? Iya deni apa kabar? Rahma kangen.”
“deni juga kangen rahma. Deni sayang rahma. Besok deni pulang ya sayang.” Suaranya terdengar makin menghilang.
“hah? Pulang? Deni mau kesini? Iya rahma tunggu ya den.”
“tut..tut…tut..” tiba-tiba sambungan terputus. Aku sangat kecewa. Tapi aku bahagia karena deni akan pulang.
Kok tumben deni telponnya gak ke hp aku aja ya?

*****
Aku tertidur sangat lelap. Paginya aku melihat layar hp. Aku nyaris lompat dari kasur melihat miscall dari deni sebanyak 14 kali, dan sms kosong 14 kali. Aku mencoba mengingat apa mimpi-ku semalam. Melihat jam sudah menunjukan waktu limit. Lagi-lagi aku berolahraga pagi hari.
Hari ini papa yang nyetir karena pak yanto, supir kami sedang sakit. Ketika aku melangkahkan kaki keluar dari rumah, aku merasakan sesuatu. Bukan tentang hantu. Tetapi ada sesuatu yang hilang. Aku mencoba mengingat apa yang kurang. Hp, udah ada. Uang saku, udah ada. Tas, ada. Ini itu lengkap. Apa yang kurang ya?
Aku duduk dibelakang, melihat orang-orang dalam perjalanan. Ada anak-anak yang tertawa, ada penjual kaki lima, wah banyak deh. Aku merasakan sesuatu yang lembut menyentuh ujung jariku. Seperti… tangan. Aku kaget, menarik tanganku dan menoleh tetapi tidak ada siapa-pun disampingku.
Selama perjalanan, orang-orang yang kulewati menoleh menatapku dengan wajah sedih. Pagi ini cerah. Apa kesedihan mereka?

*****
Waktu hari ini terasa sangat cepat. Aku tidak menyangka bu marda guru biologi memulangkan kami cepat. Tentu saja itu menimbulkan kelas menjadi gaduh seperti pasar. Mereka semua ribut mengoceh layaknya dagangan mereka yang belum habis terjual.
Hari ini lisa sudah sembuh, dia sangat senang mendengar deni akan pulang. Ditengah-tengah keributan ini, kembali teringat suara deni “Deni sayang rahma. deni pulang ya sayang.” Mungkin aku sudah kangen banget sama deni.
“mimpi kamu semalem apa?” tiba-tiba lisa memecahkan lamunanku.
“gigiku copot.” Aku langsung tersadar. Tadi aku susah payah mengingat apa mimpiku tetapi aku tidak berhasil juga dan sekarang aku meluncurkannya sendiri.
“serius? Kata dinda kalo mimpi gigi copot ada yang mau.. emm.. kehilangan.” Lisa menatapku khawatir.
“iya serius. Ah aku baru denger yang begituan.” Jawabku asal.
Ketika kami sampai di depan gerbang sekolah, aku masih bercanda-canda. Aku duduk di pinggiran teras sekolah. Aku menunggu papa menjemputku sambil menatap keramaian jalan raya. Sesekali aku melirik jam tanganku 14.12 PM
Pandanganku terpaku pada seseorang disana, ia menggunakan pakaian rapi sambil membawa se-bucket mawar warna-warni digenggamannya. Aku tersenyum padanya ketika ia melihatku. Samar-samar aku merasa mengenalnya. Aku berdiri ketika mengingat siapa orang itu. Itu deni! Sorakku dalam hati bahagia. Aku berdiri hendak berlari. Deni berjalan lurus. Aku menatap senyumnya lekat. Senyum khasnya. Aku melirik lagi jam tanganku 14.14 PM
Sebuah truk angkutan pasir melintas tidak terlihat dan…
“DUAARRR!” semua menoleh menuju tempat kejadian, semua orang berlari. Kejadian itu sangat kilat, sedetik.
Lututku bergetar tak sanggup lagi menopang tubuhku. Airmataku merebak diujungnya. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. mawar itu terpental. Mawar itu berserakan dijalan raya bersama darah dan pasir. Deni masih disana tergeletak.
Mawar merah jatuh tepat di ujung sepatuku. Aku mengambilnya kemudian menguatkan diri berlari menuju deni.
Aku melihatnya tidak bergerak, tidak bernafas, diam membeku disana. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku memeluknya. Memeluknya yang sudah meninggalkan tubuhnya. Jiwanya sudah pergi melanjutkan perjalanan. Perjalanan dari kehidupan yang sebenarnya.
Aku lemas tapi tetap menggenggam erat mawar merah itu. Lisa sudah berdiri disampingku ketika ambulance datang.
Aku tidak tahan melihat orang yang ku sayangi dalam kondisi yang sudah pergi.
Aku terjatuh. Dan aku pingsan.
*****
Aku terbangun dikamarku. Semua seperti telah ditunjukkan padaku. Aku mengingat tanda pertama yang ia berikan padaku “deni juga kangen rahma. Deni sayang rahma. Besok deni pulang ya sayang.” Ternyata deni pulang kesini dan dia juga pulang untuk selamanya.
Aku melihat 14 miscall dan 14 sms kosong dari deni dan tepat jam 14.14 PM truk itu menyambar tubuhnya.
Aku merasakan seseorang menyentuh lembut jariku, aku yakin itu pertanda dari deni.
Aku merasakan kehilangan, itu karena deni yang akan hilang dari hidupku.
Semua itu sudah deni tunjukkan padaku. Perasaanku bercampur duka.
*****
Seminggu kemudian…
Perasaanku sudah mulai pulih walaupun belum sepenuhnya. Aku sudah mulai bersekolah walaupun jiwaku masih entah dimana.
Lisa masih khawatir melihat aku yang suka merenung.
“rahma, udah gih jangan sedih lagi ya. Kamu kuat kok. Ikhlas ya rahma. Biarin dia tenang disana. Deni sayang sama rahma kok.” Aku hanya membalasnya dengan senyuman. “aku tinggal bentar ya. Aku ke kantin cari minuman.” Aku mengangguk.
Beberapa menit kemudian aku tersadar bahwa aku sendirian dikelas.
Aku mulai merasa hawa lain. Tiba-tiba saja pandanganku menjadi buram. Aku mengucek-ucek mataku. Dan ketika mataku normal, aku terkejut melihat siapa yang duduk disampingku.
Senyumnya masih sama. Wajahnya berseri masih sama. Semua masih sama. Hanya satu yang beda. Dia bukanlah seperti ku.
Deni tersenyum lebar.
Aku melihatnya. Ya! Aku melihat mereka. Orang-orang yang tidak seharusnya aku lihat.
Pikiran pertama yang ada dibenakku adalah mengapa aku bisa melihat mereka? Apakah aku sudah mati beberapa detik yang lalu? Seakan deni bisa membaca pikiranku, dia tersenyum kemudian mengusap lembut tiap helai rambutku.
“kamu belum mati rahma.” Ia berusaha menahan tawa. Mataku sudah berkaca-kaca, perasaanku bercampur aduk antara kangen dan takut. Bagaimanapun juga deni sudah menjadi hantu. Ya! Hantu walaupun wajahnya gak menyeramkan seperti hantu-hantu di film. Pandanganku beralih dari wajah tampan deni ke hantu-hantu lain yang ternyata ada di kelasku. Aku hampir saja teriak ketika aku melihat ada diantara mereka yang berlumuran darah. “jangan takut rahma, mereka gak ganggu kamu selama kamu gak ganggu mereka. Deni di sini.”
“tapi rahma takut...” Tentu aja takut, ini kan pertama kalinya aku bisa melihat hantu, ditambah lagi pembukaannya ya hantu pacarku sendiri.
“lama-lama rahma terbiasa kok.” Lembut suaranya tidak pernah berubah, hidup ataupun mati. Ia terdiam beberapa lama, aku memandanginya dengan perasaan sedih. Tampak jelas kesedihan di bola mata itu. “Deni sayang sama rahma.” Tiba-tiba saja air mataku mengalir tak tertahankan.
“Rahma juga sayang deni.” Aku mencoba kuat untuk mampu berbicara. “de..deni kenapa pergi tinggalin rahma? Rahma gak mau ditinggal. Rahma mau deni disini.” Aku berusaha menyelesaikan kalimatku dengan susah payah.
“Tuhan udah ngatur semuanya rahma. Deni gak bakal tinggalin rahma, deni selalu disekitar rahma.” Deni tersenyum mengusap air mata yang terus mengalir di pipiku. Percuma saja, karena aku terus menangis dan menangis. “rahma, deni boleh minta sesuatu?”
“minta apa?” bibirku bergetar takut mendengar permohonannya.
Ia berdiri dari bangku yang didudukinya tadi mundur satu langkah “deni mau kamu buka lembaran baru, rahma. Hidup kamu masih panjang. Deni harus pergi, kita udah beda dunia sayang.” Deni mundur beberapa langkah lagi.
“deni, rahma gak bisa.” Aku mencoba menarik tangannya mendekat ketika bayangannya mulai memudar.
“kamu bisa, sayang. Kamu kuat. Ikhlasin deni, rahma.” Semakin lama deni semakin mundur dan memudar begitu juga dengan hantu-hantu lainnya dikelas ini. “selamat tinggal, rahma.” Dan detik berikutnya deni benar-benar menghilang.
Aku menjerit histeris mencoba memanggilnya hingga lisa datang. Aku yakin sejenak lisa pasti mengira bahwa aku sudah gila tapi, aku tahu lisa mengerti kondisiku. Aku semakin lemas, air mata terus mengalir melewati pipiku, aku bergetar, aku jatuh dan pingsan.
*****
Tidak ada yang bisa aku lakukan selain ikhlas dan terus mendoakannya bahagia disana. Aku memutuskan untuk membuka lembaran baru, kembali menatap duniaku dengan ceria. Deni benar, dia tidak pernah meninggalkanku karena dia selalu ada di sekitarku. Aku merasakannya, selalu merasa dekat dengannya. Melalui mimpi, hawa, dan semua yang dapat aku rasakan yah aku tahu dia disana. Dia selalu menemaniku.


-the end-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar