Namaku herlina, tengah duduk di bangku sekolah menengah pertama favorite
di kota terpencil, pulau lombok. Aku memasuki zona terlarang untuk
bermain-main, maklum saja ujian nasional menyapaku di penghujung tahun.
Ketika kelas satu SMP, aku menempati absen 14 di kelas 7D. Namun, entah
apa yang membuat sistem pendidikan begitu cepat berubah, beriringan dengan
pergantian guru kurikulum yang baru, namaku dengan mudah dihapuskan dari kelas
lamaku ke kelas baru. Ya, kini aku tengah mengadahkan dagu menatapi pemandangan
baru dikelas, 7 B.
Gosip beredar dengan kecepatan maksimal, melebihi kecepatan virus berlari
untuk mencari inang. Gosip itu kudengar dari salah satu teman kelas lamaku,
mardalena. Bahwa calon teman-teman baruku tidak menyukaiku, bahkan sebuah
berita (sebut saja masa laluku) telah dijadikan pandangan negatif mereka
terhadapku.
Beberapa bulan dikelas baru, aku masih bertahan hidup. Nafasku masih
berhembus normal walaupun terkadang hatiku meringis kesakitan melihat beberapa
dari mereka yang ketahuan memanfaatkanku.
Vero adalah gadis yang pertama menyapaku di kelas 7B, ia ramah
terhadapku, mengajakku terlibat bincangan kecil diantara kerumunan gadis
lainnya. Namun, beberapa waktu kemudian, sebuah sumber terpercaya
mengejutkanku. Vero dkk lah yang ternyata membenciku, mereka yang pertama kali
memasang aksi demo untuk menolak kehadiranku dikelas ini, mereka yang
membicarakan masa laluku dan memandangku dengan mata terpincing.
Bagaimana mungkin seorang malaikat dihadapanku tiba-tiba saja menjelma
menjadi iblis dibelakangku? Mencoba menusuk dan menjatuhkan aku. Ah hatiku
kembali tercabik-cabik. Aku ingin kembali ke kelas lama, tapi apa daya? Aku bukan
pemilik sekolah mahal ini. Semakin aku memberontak untuk pindah kelas, justru
semakin sakit yang kurasakan.
Akhirnya, aku memutuskan untuk diam. Aku membuka lebar mataku untuk
percaya bahwa setiap orang bisa berubah dalam waktu sedetikpun. Berubah dalam
wujud malaikat, maupun iblis. Jika mereka tidak bisa mengerti cara bermainku,
mungkin sudah saatnya aku tumbuh dewasa untuk mengerti cara bermain mereka,
baik aku juga menyukainya ataupun tidak.
30 juli, kelasku mengadakan perkumpulan dengan semua anggota diwajibkan
untuk hadir. Berhubung sebelumnya aku tidak pernah ikut berkumpul, kini aku mengindahkan
permintaan mereka.
Suasana rumah nan luas itu terlihat ramai dari kejauhan. Pohon rindang
bergoyang dalam kegelapan malam. Angin dingin berhembus pelan dari arah sawah. Kikikan
tawa dan jeritan bahagia membahana dari tiap-tiap wajah yang sumringah. Sementara
aku terdiam memandangi mereka satu persatu. Aku yang kini hadir dihadapan
mereka, seolah tembus pandang. Mereka hanya bermain sendiri. Sibuk dengan dunia
masing-masing. Terlalu banyak kubu yang membentuk lingkaran kemudian
membicarakan sebuah rahasia tanpa mengizinkan aku masuk kedalam lingkaran itu. Aku
merasa aneh. Kesabaranku mendekati puncak ubun-ubun.
Sebelum malam semakin larut, pemimpin kami rey memutuskan untuk membentuk
satu lingkaran besar. Ia menyodorkan mikrofon pada tiap anggota untuk
mengeluarkan uneg-uneg hatinya karena masalah kelas mulai bermunculan dari
berbagai pihak kubu.
Keringat dingin meluncur membasahi tubuhku. Tanganku mendadak dingin
seperti memegang es batu ketika giliranku tiba. Aku ragu untuk berkata jujur,
apakah mereka tidak akan sakit hati dan justru menyimpan dendam terhadapku?
“Jujur itu pahit, tetapi kebohongan manis buatan,” kataku membatin.
Akhirnya aku memutuskan untuk mengatakan beban yang mengganjal di pikiran
dan hatiku. Beberapa dari mereka langsung meminta maaf, dengan tulus maaf itu
juga yang terucap dari bibirku.
Malam itu, aku merasa bahagia. Berbulan-bulan beban itu mengganjal
akhirnya bisa terpecahkan dalam beberapa jam terakhir. Hal yang sebelumnya
kurasakan ‘aku tidak memiliki teman’ kini, aku merasa mereka semakin
memperhatikanku, membaur denganku.
Malam itu juga, sebuah keputusan diambil dan disepakati bersama. Bahwa kelas
kami harus kompak, membaur, menyatu dengan teman lainnya, tidak boleh ada kubu.
Intinya kami harus duduk secara beracakan, tidak boleh memilih-memilah teman
duduk.
***
Beberapa bulan, keputusan itu masih tetap berlaku. Setiap orang duduk
dengan teman yang lain setiap harinya. Duduk bergantian dengan posisi dan
pasangan duduk yang berbeda. Hingga suatu hari, keputusan itu mulai rapuh
ditelan waktu.
Hari selasa, aku datang sedikit terlambat karena sibuk begadang
menyiapkan presentasi biologi untuk hari ini. Dengan sembarang, aku mengarah
pada temanku, tina yang belum memiliki teman duduk. Aku melihat kursi disebelahnya
kosong tidak berpenghuni.
Aku menghempaskan tasku yang berisikan buku-buku tebal yang beratnya
seperti beton pada kursi coklat khas sekolah-sekolah di indonesia, kursi kayu
dengan paku yang kadang menyembul.
“Eh, sorry. Disini tika,” ucapnya sambil menyentuh kursi coklat tadi.
“Oh, iya. Maaf ya.”
Hatiku mencelos. Tega sekali dia mengusirku secara halus seperti itu,
sehalus debu yang kasat mata. Air mataku menggenang dipelupuk mata. Aku memindahkan
tas ranselku ke kursi kosong tak bertemankan. Aku duduk sendiri, itulah
kesimpulannya.
Terkadang aku iri dengan kelas lain yang begitu kompak, duduk dengan
siapapun sesuka hatinya, tidak terikat pada satu pasangan duduk sehidup semati.
Untuk yang kedua kalinya, menjelang ulangan fisika. Aku benar-benar
terlambat masuk kelas. Kursi-kursi belakang telah penuh. Kau tahu moto “tempat
duduk menentukan prestasi” ya, moto itu berlaku di sekolah manapun, kurasa.
Aku hanya dihadapi pada dua pilihan. Duduk bersama elisa atau miranda. Aku
memilih elisa karena elisa duduk di bangku kedua paling depan, sedangkan
miranda duduk di ujung paling belakang. Kau tahu? Disekolahku, apabila kursi
paling depan kosong dan kursi paling belakang penuh, hal itu menandakan guru
segera mencari tumbal dari para penghuni kursi ujung belakang untuk duduk di
depan.
Aku meletakkan tas ranselku ketika melihat wajah elisa tiba-tiba berubah
suram. Aku memandangnya termangu. Sebelum pantatku melekat di kursi, ia
mengusirku secara halus.
“Eh.. itu si vira duduk disini.”
Tanpa pikir panjang, aku mengorbankan diriku sendiri untuk duduk paling
depan. Aku memang tergolong orang yang pelit dalam kerjasama ketika ulangan. Karena,
aku membenci ketika aku harus menegak bergelas kopi agar kantuk tidak
menyerangku sehingga aku bisa menuntaskan kegiatan hafal menghafal rumus dan
soal. Sedangkan, orang yang kuberi tahu jawaban dengan santai berleha-leha
tanpa perlu menghitung, tanpa perlu begadang. Mereka menyebutnya “tunggu
dikasih jawaban dari langit sama Tuhan.”
Well, bagaimana tuhan membantu apabila kita tidak berusaha terlebih
dahulu? Setidaknya sekedar membaca rumus atau sekedar tahu materi ulangan,
tentu akan kubantu jika kesulitan (itupun jika aku tahu jawabannya).
Membantu orang itu memang baik. Tapi membantu diri sendiri juga lebih
baik bukan? Aku pernah membantu temanku menjawab soal sementara tugas soalku
sendiri belum tuntas. Dan ketika temanku selesai menyalin jawaban yang sudah
kuhitung, sementara aku memulai untuk mengerjakan soal. Dengan angkuhnya ia
berkata, “Cepetan dong. Aku aja udah selesai nih.”
Hah, lupa diri ternyata dia. Seperti kacang lupa kulitnya. Bagaimana si
kulit membantunya, melindunginya. Terlalu banyak manusia seperti kacang. Mungkin,
aku juga pernah melakukan hal tersebut sehingga aku juga harus mengalami hal
yang sama (karma).